Menurut dia, definisi menguntungkan sangat subjektif, bersifat asumsi dan proses penilaiannya yang diserahkan pada pengawas pemilihan sebagai penilai tunggal berpotensi menciptakan keputusan yang otoriter dan membuat pemilu menjadi tidak demokratis.
“Seharusnya, ada ukuran objektif yang jadi alasan pembatalan. Tak hanya pembuktian terhadap ada atau tidak adanya tindakan petahana enam bulan sebelum pencalonan atau enam bulan setelah terpilih, tetapi dasar pembuktiannya harus diletakkan pada ada tidaknya unsur penyalahgunaan wewenang di dalamnya agar rekomendasi/keputusan yang dikeluarkan akuntabel,” tutur Irawan.
“Unsur penyalahgunaan wewenang bisa dilihat dari apakah pada saat calon petahana menjabat telah melakukan penyalahgunaan wewenang dengan melakukan tindakan melampaui wewenang, mencampuradukkan kewenangan dan sewenang-wenang dalam membuat program dan kegiatan pada rentang waktu pelarangan tersebut. Jika unsur tersebut tidak ada, maka seharusnya calon petahana tidak mendapatkan sanksi pembatalan,” Irawan menambahkan.