“Nampak ketidak konsistenan KPU menerapkan aturannya. Muncul kesan, KPU ‘menghalakan’ segala cara menjegal mantan napi tanpa mempertimbangkan segala konsekuensi,” tuturnya.
Setidaknya terdapat tiga konsekuensi akibat ‘pemaksaan’ masuknya norma yang melarang caleg mantan koruptor. Pertama, KPU telah bertindak sewenang-wenang dengan tak mengindahkan pengaturan di atasnya. Bahkan dengan dalih, karena telah diundangkan Kementerian Hukum dan HAM. Namun adanya perlindungan hak dipilih dalam pemilu bagi setiap orang dalam norma Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu, adalah pengaturan yang tak bisa dinegasikan.
“Terlebih pasal ini sebelumnya sudah coba diuji di MK dan hasilnya, MK menolak untuk mengabulkan permohonan pemohon agar mantan napi koruptor dilarang untuk mencalonkan diri,” tegasnya.
Konsekuensi kedua, kata dia, adanya putusan bawaslu terhadap setidaknya 12 calon mantan narapidana korupsi yang kemudian dimenangkan untuk dapat mengikuti pemilu, adalah putusan sengketa yang berkepastian hukum.