Dia juga menyoroti banyaknya peristiwa Intoleran di Jogja pada 2018 silam. “Kami melihat semakin sering mendengar rumah ibadah ditutup, semakin banyak orang yang terjerat penodaan agama. Sampai orang mati pun tak luput dari peristiwa intoleransi,” kata Grace.
Seperti pada Desember 2018 lalu di Jogja, sebuah nisan kayu salib dipotong di Kotagede Jogjakarta, dan prosesi doa kematian gagal dilakukan lantaran mendapat penolakan massa. “Jelas-jelas itu diskriminasi, tapi seolah-olah itu normal,” katanya.
Kemudian ada peristiwa di Gereja Santo Lidwina Bedog di Sleman, juga mendapat teror. Dari seorang pemuda dengan memakai katana menghancurkan isi gereja, melukai pastor, dan jamaat yang sedang khusyuk beribadah.
Ia juga menyebut, Caleg dari PSI sudah ada kontrak politik. Mereka yang terlibat kasus intoleransi otomatis dipecat dan berlaku secara umum. “Jika terpilih dan kemudian mereka terlibat intoleransi maka dipecat,” ucapnya.
Lanjut Grace, sudah jelas ada pasal 28 E dan 29 yang menyebut mengenai kebebasan bagi semua orang dalam kemerdekaannya memeluk agama dan beribadah. Negara juga menjamin warganya melakukan peribadatan. (epr/jwp)