Dunia Mulai Kecam Sikap Diam Aung San Suu Kyi; Stop Killing My Family in Burma!

kabarin.co – Lebih dari 2.600 rumah Muslim Rohingya dibakar habis sepanjang akhir pekan lalu. Pembakaran ini menjadi salah satu kekerasan paling mematikan di negara bagian Rakhine, di mana Muslim jadi mayoritas.

Akibat aksi pembakaran tersebut, lebih dari 58.600 warga Rohingya melarikan diri ke Bangladesh. Pemerintah Myanmar menyalahkan kelompok Arakan Rohingya Salvation Army (ARSA) atas terjadinya pembakaran tersebut.

Pekan lalu, kelompok ini mengaku bertanggungjawab atas terjadinya serangan di pos keamanan yang akhirnya memicu terjadinya bentrokan dan perlawanan besar-besaran dari militer Myanmar.

Diberitakan oleh Reuters, 2 September 2017, para pengungsi Rohingya di Bangladesh mengatakan, apa yang disampaikan militer, termasuk pembunuhan dan pembantaian yang mereka lakukan bertujuan mengusir mereka semua dari Rakhine.

Bentrokan dan pengerahan besar-besaran militer yang terjadi selama pekan lalu telah menewaskan lebih dari 400 orang dan lebih dari 11.700 penghuni desa dari etnis Rohingya dievakuasi dari wilayah tersebut.

Perlakuan terhadap lebih dari 1,1 juta warga Muslim dari etnis Rohingya yang tinggal di Rakhine menjadi tantangan besar bagi pemimpin negara tersebut, Aung San Suu Kyi yang pernah menerima Nobel Perdamaian.

Negara barat mengecam  keras sikap Suu Kyi yang memilih diam atas tindakan keji militer terhadap minoritas Muslim di Myanmar. Di berbagai belahan dunia yang penduduknya muslim, juga menggelar demonstrasi meminta Suu Kyi menghentikan kekejian disana.

Tagar #Shame on You yang ditujukan pada Suu Kyi juga merebak dimana-mana. Begitupun #Stop Killing my Family in Burma.

Pemerintah Inggris, yang pernah menjajah negara tersebut, bahkan sudah meminta Suu Kyi agar menggunakan kekuatannya untuk mengakhiri kekerasan di Rakhine.

“Aung San Suu Kyi memiliki hak kuat sebagai salah satu figur inspiratif abad ini. Tapi perlakuan terhadap Rohingya sangat disayangkan telah menodai reputasi Burma,” ujar Menteri Luar Negeri Inggris Boris Johnson dalam sebuah pernyataan yang disampaikan, Sabtu (2/9).(*/vv)