kabarin.co – JAKARTA, Diam -diam pemerintah melalui RUU Cipta Kerja “Omnibus Law” membuka kesempatan kepada asing untuk menjadi pemilik mayoritas perusahaan pelayaran yang mengoperasikan kapal di perairan Indonesia.
Hal ini dilakukan dengan mengubah pasal 158 ayat 2 UU No.17 tahun 2008 tentang Pelayaran. Perubahan tersebut sangat radikal. Di dalam UU Pelayaran, kapal yang bisa didaftarkan di Indonesia adalah;
Omnibus Law: Tsunami Bagi Pengusaha Pelayaran Nasional
-
kapal dengan ukuran tonase kotor sekurangkurangnya GT 7 (tujuh Gross Tonnage);
-
kapal milik warga negara Indonesia atau badan hukum yang didirikan berdasarkan hukum Indonesia dan berkedudukan di Indonesia; dan
-
kapal milik badan hukum Indonesia yang merupakan usaha patungan yang mayoritas sahamnya dimiliki oleh warga negara Indonesia.
Pasal 158 huruf c adalah ruhnya dari asas cabotage. Akan tetapi, di dalam RUU Omnibus Law, Pemerintah menghilangkan ayat 2 huruf c tersebut sehingga berdasarkan RUU tersebut, kapal milik perusahaan hasil joint ventura dengan kepemilikan mayoritas asing bisa didaftarkan di Indonesia.
Perubahan ini akan menjadi kabar mengerikan bagi industri pelayaran nasional dan prinsip cabotage menjadi sangat lemah. Padahal cabotage adalah prinsip yang berlaku pada negara-negara pantai seperti China, Kanada, Brazil, Amerika Serikat dan sebagainya.
Dampaknya akan sangat dahsyat. Di sektor pelayaran, dapat dipastikan akan banyak perusahaan angkutan laut nasional yang gulung tikar karena kapal-kapalnya tidak akan mampu bersaing dengan kapal milik perusahaan luar negeri yang masuk ke Indonesia menjadi pemain angkutan laut domestic melalui usaha joint venture.
Jika ini dibiarkan terjadi, dampak ekonominya sangat besar. Tidak sedikit bank yang akan gulung tikar karena NPL (Non Performing Loan) dari pembiayaan di sektor perkapalan menjadi bermasalah atau meningkat karena kapal yang dibiayai tidak akan mampu lagi membayar cicilan.
Oleh karena itu, Pemerintah harus mengembalikan pasal 2 huruf c dimana kapal yang bisa didaftarkan di Indonesia antara lain adalah kapal milik badan hukum Indonesia yang merupakan usaha patungan yang mayoritas sahamnya dimiliki oleh warga negara Indonesia.
Siswanto Rusdi, Direktur National Maritim mengatakan siapa pun yang mengusulkan RUU tersebut, dapat dipastikan bahwa dia/mereka tidak paham sejarah lahirnya undang-undang No.17 tahun 2008 tentang Pelayaran. Bila semangat liberalisme yang ingin dicangkokan ke dalam sektor kemaritiman nasional melalui omnibus law, aturan main yang ada saat ini sudah amat liberal.
Menurut catatan, aturan dalam UU Pelayaran yang diubah itu sangat radikal. Terdapat 60 pasal yang diubah dan 10 pasal yang dihapus. Pasal-pasal itu adalah sebagai berikut:
Pasal 59 RUU Omnibus Law mengubah Pasal 5, menyisipkan Pasal 8A, mengubah ketentuan-ketentuan Pasal 9, Pasal 13, Pasal 27 dan Pasal 28, Pasal 31, Pasal 32, Pasal 33, Pasal 34, Pasal 51, Pasal 59, Pasal 90, Pasal 91, Pasal 96, Pasal 129, Pasal 98, Pasal 99, Pasal 104, Pasal 106, Pasal 111, Pasal 124, Pasal 125, Pasal 126, Pasal 130, Pasal 133, Pasal 155, Pasal 158, Pasal 163, Pasal 168, Pasal 169, Pasal 170, Pasal 171, Pasal 197, Pasal 204.
Pasal 213 juga diubah. Demikian pula Pasal 225, Pasal 243, Pasal 273, Pasal 282, Pasal 288, Pasal 289, Pasal 290, Pasal 291, Pasal 292, Pasal 293, Pasal 294, Pasal 295, Pasal 296, Pasal 297, Pasal 298, Pasal 299, Pasal 307, Pasal 308, Pasal 310, Pasal 313, Pasal 314, Pasal 321, Pasal 322, Pasal 336. Sementara itu, pasal-pasal yang dihapus mencakup Pasal 30, Pasal 52, Pasal 53, Pasal 97, Pasal 127, Pasal 156, Pasal 157. RUU juga menghapus Pasal 159, Pasal 161 dan Pasal 162. (*)
Perbedaan Pasal 158 huruf c UU No.17 tahun 2008 tentang Pelayaran dan Perubahan di dalam RUU Cipta Kerja.