Terdapat juga masyarakat asli Riau berumpun Minangkabau yang berasal dari daerah Rokan Hulu, Kampar, Kuantan Singingi, dan sebagian Inderagiri Hulu. Pun ada masyarakat Mandailing di Rokan Hulu, yang lebih mengaku sebagai Melayu daripada sebagai Minangkabau ataupun Batak. Percampuran Batak dan Minang dalam identitas kemelayuan yang bergelora ini muncul dalam sosok Tuanku Tambusai yang kontroversi dalam Perang Paderi (1821-1837). Perang Paderi adalah perang terlama dalam abad-abad kolonialisme. Migrasi dan pertalian darah baru tercipta dalam Perang Paderi ini dalam membingkai genetika puak Melayu di bagian Sumatera Tengah (Sumatera Utara, Sumatera Barat, Riau, Kepulauan Riau, Bangka Belitung, Jambi hingga Bengkulu di zaman now).
Percampuran yang unik itulah yang melanggengkan budaya Melayu pada ranah bertuah itu.
Sumbangan Riau sebelum kemerdekaan adalah aksara dan bahasa persatuan, yakni bahasa Indonesia yang diambil dari lingua franca yang mayoritas adalah bahasa Melayu pasar. Sumbangan itu masih terasa hingga sekarang. Justru yang jarang disebut adalah sumbangan kekayaan alam Riau yang melimpah, akibat penetrasi dan hegemoni kekuasaan kolonial Belanda, Jepang, hingga kehadiran korporasi multi nasional penghisap minyak, gas, sampai unsur hara dalam tanah bagi tanaman sawit. Semasa Orde Baru, kehadiran militer begitu terasa. Walau, sebagian besar masyarakat Riau seperti ayam mati di lumbung padi.