Metro  

TI dan PUSaKO Gelar Diskusi Publik Soal KPK

Foto bersama seluruh peserta diskusi publik bertemakan "KPK dan Masa Depan Pemberantasan Korupsi", bertempat di Laboratorium Fakultas Hukum Universitas Andalas, Selasa (9/7/2024). (Foto: Wahyu Bahar/tribunpadang.com)

Dia menegaskan, revisi UU KPK Nomor 19 tahun 2019 lalu adalah penyebab utama kinerja KPK menurun.

Ia membandingkan KPK di bawah UU Nomor 30 Tahun 2002 dengan UU Nomor 19 Tahun 2019.

Pada UU 30/2002, KPK bersifat independen, paradigmanya pemberantasan, jenjang hierarki kewenangan pendek, superbody dan status pegawai yang otonom.

Sementara, pada UU 19/2019, KPK menjadi dependen, paradigma pencegahan, jenjang hierarki kewenangan berbelit, overbody, dan status pegawainya ASN.

Baca Juga :  Tito Karnavian Sebut OTT Bukan Prestasi Hebat, KPK Singgung Kontribusi Mendagri

Dalam diskusi publik tersebut lahirlah tujuh rekomendasi sebagai berikut:

  1. KPK harus dikembalikan sebagai lembaga negara yang bersifat independen dengan cara kembali mengubah UU KPK.
  2. Pemerintah dan DPR perlu menunjukkan komitmen pemberantasan korupsi dengan memenuhi kebutuhan sumber daya anggaran yang cukup bagi KPK.
  3. KPK perlu melakukan evaluasi menyeluruh terhadap kualitas dan kuantitas penanganan perkara yang terus merosot.
  4. Proses pemilihan pimpinan KPK harus dilakukan secara terbuka dan transparan, melibatkan partisipasi publik, serta memastikan integritas dan independensi calon pimpinan.
  5. Memperkuat mekanisme pengawasan internal di KPK untuk mencegah terjadinya penyalahgunaan wewenang dan korupsi di internal lembaga. KPK perlu kembali menyadari pentingnya masyarakat sipil sebagai mitra utama.
  6. Eksistensi KPK menjadi sangat rapuh tanpa adanya dukungan masyarakat sipil yang kuat.
  7. Membangun kemitraan yang kuat dengan organisasi masyarakat sipil yang bergerak dalam pemberantasan korupsi, seperti LSM, lembaga advokasi dan komunitas antikorupsi.
Baca Juga :  Bupati Kepulauan Talaud Sri Wahyuni Diduga Terima Tas dan Berlian Seharga Ratusan Juta

(*)