Aplikasi telah diluncurkan, tetapi tidak dapat digunakan oleh setiap desa yang telah membayar dengan nominal bervariatif. Akibat tidak berfungsinya aplikasi dan progam tersebut, negara berpotensi mengalami kerugian yang cukup banyak.
“Ada yang bayar Rp 4 juta dan ada juga yang bayar Rp 2 juta. Jadi dari 438 desa yang sudah bayar itu tidak sama,” kata Kusen.
Kendati demikian, pihaknya mengaku belum mengetahui berapa jumlah potensi kerugian Negara mengingat masih menunggu harus menunggu hasil audit dari Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) Jawa Tengah.
“Sedang dalam proses audit dan kami masih menunggu hasilnya dari BPKP Semarang,” terang dia. Dalam tahap penyelidikan selama ini, sejumlah pihak terkait telah diperiksa untuk memberikan keterangan.
Mulai dari tingkat desa, kecamatan, hingga OPD tingkat kabupaten yang menjadi leading sektor pengadaan dan pengembangan aplikasi. (pp)