Entahlah, saya terdorong menjadikan 1 Maret 2018 ini sebagai lonceng pembuka untuk perlombaan lari maraton guna memenangkan pemilu serentak 17 April 2019. Di tengah hiruk pikuk masalah banjir, tanah longsor, moratorium sejumlah proyek infrastruktur, polemik seputar sah atau tidaknya Jusuf Kalla maju (lagi) sebagai Calon Wakil Presiden RI; saya justru mengharapkan konsolidasi maksimal dalam tubuh partai-partai politik, terutama Partai Golkar. Bahwa dengan ditetapkannya D Day pada 17 April 2019, disiplin partai seyogianya sudah dimulai.
Andai kisah 1 Maret 2018 ini sama sulitnya dengan pertempuran 1 Maret 1949, minimal sudah terdapat pasukan-pasukan tempur yang melakukan long march terlebih dahulu guna mengukur sulitnya medan dan banyaknya ranjau. Apabila partai politik masih dijalankan secara personal dan disibukkan dengan isu-isu eceran harian dan minggu, hari demi hari akan gugur satu demi satu, seperti daun-daun pohon beringin yang dilanda kekeringan di musim kemarau.
Dan demi inisiatif itu, barangkali saya perlu melakukan lagi peran-peran pribadi yang mungkin tak berdampak banyak, yakni dengan menulis kisah atau bernarasi. Dengan melakukan hitungan mundur, setidaknya saya menggedor dada masing-masing kader partai untuk membeli buku tulis putih plus pulpen guna diisi aktivitas kegiatan dalam lembaran-lembaran berikutnya. Proses menulis jurnal harian itu bagaikan kegiatan nahkoda kapal dalam perjalanan yang jauh. Jurnal di tahun politik, tapi tentu bukan berisi seluruhnya masalah-masalah politik.