Saya sampai mengulangi bertanya: “Berarti saya diperintahkan secara resmi nih, Pak Menteri?”
Yuddy mengatakan iya sambil tersenyum. Saya memang sudah kesulitan membedakan mana ucapan Yuddy yang serius, mana yang becanda, mengingat cara bicaranya yang lebih banyak mengulum bibir. Mungkin karena itu juga, saya justru beberapa kali lebih terlihat “marah” bila bicara berdua saja dengannya.
Karena itulah, saya lebih banyak menggunakan kemeja putih ketika mengikuti roadshow Airlangga ke berbagai daerah. Saya juga bilang kepada para pemilik suara: “Dimana saya berdiri, disanalah pemerintah memberikan tolehan dukungan.” Soalnya, Partai Golkar saat itu tidak ada dalam pemerintahan dan belum memberikan dukungan kepada pemerintahan. Saya sebagai kader tentu ingin menariknya dengan kekuatan simbolis sebagai Ketua Tim Ahli MenPANRB.
Tapi apa boleh buat, saya juga kudu memakai jaket Partai Golkar. Dan perlahan, posisi saya sebagai orang pemerintahan, sekaligus juga orang Partai Golkar itulah yang membawa bullyan di media sosial. Pada waktu menjadi Ketua Balitbang DPP Partai Golkar dalam kepemimpinan Agung Laksono tidak begitu banyak. Pertarungan menjelang Munaslub Bali rupanya melibatkan banyak pihak, termasuk akun-akun sosial media dan berikut portal-portal kapal selamnya. Konsekuensinya, saya berhenti sebagai Panitia Seleksi Pejabat Tinggi Pratama dan Pejabat Tinggi Madya di sejumlah kementerian dan pemerintahan daerah, terutama akibat laporan yang masuk kepada Komisi Aparatur Sipil Negara (KASN) tentang “netralitas politik” saya.