Sengkarut dan Silang Pendapat Soal Reklamasi Pulau G di Antara Para Menteri

Nasional3 Views

kabarin.c0, JAKARTA – Kabinet Presiden Joko Widodo terbelah akibat reklamasi Pulau G di Teluk Jakarta. Antar menteri beda pendapat. Ada yang mendukung reklamasi dilanjutkan dan ada menteri yang menolak.

Perpecahan itu terlihat saat Menteri Koordinator bidang Kemaritiman Luhut Binsar Pandjaitan mengumumkan ke publik bahwa Pemerintah akan melanjutkan reklamasi.

Keputusan Luhut seakan-akan tak mengacuhkan kebijakan yang telah dibuat oleh Menteri Kehutanan dan Lingkungan Hidup (LHK) Siti Nurbaya, Menteri Kelautan dan Perikanan (KKP) Susi Pudjiastuti, serta Menko Maritim sebelumnya, Rizal Ramli.

Kronologi perpecahan tersebut dimulai pada Mei 2016. Saat itu, Kementerian LHK mengeluarkan Surat Keputusan Menteri LHK dengan SK.355/Menlhk/Setjen/Kum.9/5/2016 tentang Pengenaan Sanksi Administratif Paksaan Pemerintah Berupa Penghentian Sementara Seluruh Kegiatan PT Muara Wisesa Samudra di Pulau G di Pantai Utara Jakarta.

Pengembang pembangunan reklamasi Pulau G adalah PT Muara Wisesa Samudra, anak usaha Agung Podomoro Land.

SK tersebut memerintahkan PT Muara Wisesa untuk memenuhi kewajiban yang belum dilengkapi, seperti penyelesaian gangguan jalur pelayaran dan kapal, gangguan terhadap proyek vital PLTG dan PLTGU, izin Amdal sumber tanah urugan, dan penyelesaian kepentingan masyarakat pesisir, khususnya nelayan.

Di tempat terpisah, Koalisi Selamatkan Teluk Jakarta mengugat pemerintah provinsi DKI Jakarta di Pengadilan Tata Usaha Negara Jakarta. Keputusan hukum yang digugat adalah Surat Keputusan Gubernur DKI Jakarta bernomor 2238/2014 tentang pemberian izin reklamasi Pulau G.

PTUN pada 31 Mei 2016 mengabulkan gugatan tersebut. Dalam putusannya, hakim menyatakan tidak ada kepentingan umum dalam reklamasi dan banyak dampak baik dari segi lingkungan, sosial, maupun ekonomi yang mengganggu objek vital.

Atas keputusan itu, Pemprov DKI Jakarta naik banding. Sekarang, kasusnya sedang disidangkan di Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara Jakarta.

Kemudian, Pemerintah membentuk Komite Bersama Reklamasi Pantai Utara Jakarta yang terdiri dari Kemko Maritim, KKP, KLHK, serta Pemprov DKI Jakarta.

Komite yang dipimpin oleh Rizal Ramli, pada 30 Juni 2016, sepakat melakukan moratorium Pulau G karena ditemukan pelanggaran berat dalam proses evaluasi lingkungan.

Reklamasi Pulau G pun terhenti sejak itu.

Tidak terima keputusan itu, Gubernur DKI Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok menyurati Presiden Jokowi. Ahok tidak terima alasan Rizal. Pada 15 Juli 2016, Sekretaris Kabinet Pramono Anung mengatakan, Jokowi akan mengelar rapat terbatas membahas surat Ahok tersebut.

Beberapa hari usai rapat membahas surat Ahok, tepatnya 27 Juli 2016, Presiden Joko Widodo merombak pembantunya. Rizal Ramli tergusur dan digantikan Luhut.

Ganti menteri maka ganti juga kebijakannya. Luhut pun mengambil langkah cepat dengan mempelajari detail masalah Pulau G. Ia bertemu dengan tim pengkaji reklamasi dari Institut Teknologi Bandung untuk membicarakan aspek legal, bisnis, dan teknis Pulau G.

Selain bertemu tim ITB, Luhut juga seharusnya mencermati dan mempelajari sanksi KLHK dan surat rekomendasi dari KKP. Luhut juga seharusnya mengumpulkan semua pihak terkait untuk membicarakan masalah tersebut.

Namun hal itu tidak terjadi. Luhut hanya melibatkan Ahok. Pada 13 September 2016, Luhut bersama Ahok di Gedung ESDM memutuskan melanjutkan reklamasi Pulau G.

Keduanya mengumumkan ke publik mengenai keputusan itu tanpa kehadiran Menteri Siti dan Menteri Susi.

Siti Nurbaya dan Susi Pudjiastuti seperti ditinggalkan. Padahal, dua kementerian itu dengan jelas dan tegas menyatakan menolak reklamasi.

Luhut mengklaim, tidak ada alasan bagi pemerintah untuk memberhentikan reklamasi pulau.

“Tidak ada alasan untuk tidak melanjutkan. Semua aspek sudah didengar dari mulai lingkungan hidup, proyek strategis PLN, kelautan, perhubungan, dan Pemprov DKI,” ujar Luhut.

Klaim Luhut tak terbukti. Di tempat berbeda dan waktu yang sama, Menteri Siti membantah. Menurutnya, reklamasi Pulau G belum bisa dilanjutkan karena terganjal sanksi administratif.

Sanksi tersebut belum dicabut saat Luhut mengklaim tidak ada alasan menghentikan reklamasi.

Bukan hanya Siti, ternyata pada 22 Juli 2016, Susi telah mengirimkan surat ke Menko Maritim yang berisi rekomendasi agar reklamasi Pulau G dihentikan.

Surat itu bernomor 398/MEN-KP/VII/2016. Di dalam surat disebut ada 10 poin alasan reklamasi harus dihentikan.

“Keputusan akan dikeluarkan oleh Menko Maritim (Luhut) dan Presiden Joko Widodo,” kata Susi Pudjiastuti saat ditemui dalam konferensi pers di rumah dinasnya, Kamis, (4/9).

Kembali, Luhut membantah. Ia merasa tak pernah menerima surat itu. Ia mengklaim, jika ada sesuatu yang hendak disampaikan, Susi akan mengatakan langsung kepadanya. Luhut pun berharap media tak lagi membahas soal rekomendasi dari Susi itu.

“Enggak ada surat, Ibu Susi kalau ada apa-apa langsung ngomong ke saya. Sudah ya, jangan diadu-adu,” kata Luhut.

Entah siapa yang benar, yang jelas para menteri seharusnya satu suara menjawab masalah yang mendapatkan perhatian dari masyarakat ini.

Seperti kata pakar hukum tata negara Universitas Parahyangan Asep Warlan Yusuf. Seharusnya, sebelum mengambil keputusan, Luhut duduk bersama dengan menteri terkait untuk berdiskusi mengambil keputusan terkait Pulau G.

“Heran saya, kenapa Luhut tidak minta semua menteri terkait duduk bersama untuk menanyakan apakah (reklamasi) go atau tidak? Dia punya kewenangan kok. Ini sekarang yang terlihat, setiap pernyataan menteri beda-beda. Jadi kelihatan tidak kompak,” kata Asep. (cnn)

Baca juga:

Luhut Klaim Tak Langgar Putusan PTUN soal Reklamasi Pulau G

Menteri Luhut Didesak Taati Proses Hukum Terkait Reklamasi

Lanjutkan Reklamasi, Luhut Dinilai Lebih Pentingkan Pengembang

Kritik Walhi Soal Reklamasi, Kebijakan Reklamasi Hanya Kepentingan Politik