Melalui campursari, Didi Kempot bernyanyi. Di tangannya, campursari tak semata urusan bunyi gamelan yang berpadu dengan unsur musikalitas lainnya. Campursari tak semata Jawa dan juga bukan representasi general sebuah identitas kultural tertentu dengan berbagai stereotipnya.
Seturut Fauzanafi (2020), campursari tidak hanya campuran antara sentuhan serupa gamelan, musik diatonis barat dari keyboard dan gitar, juga instrumen ‘nasional’ seperti gendang dangdut dan ukulele keroncong. Dan karena pengaruh langgam keroncong ini, ia membawa sentimen inderawi yang disebut sebagai ‘sensibilia’.
Sensibilia adalah sentimen inderawi yang dibangkitkan oleh totalitas suara dan imaji yang melingkupi sebuah lagu, dan juga dipicu oleh aktivitas dalam pembuatan musik yang bertujuan untuk membuat orang ‘bergerak’. Sementara perasaan ambyar; sedih karena merasa kehilangan, dibangkitkan oleh bunyi bernuansa keroncong, ‘gerak’ dalam arti ‘bergoyang bersama’ dipicu oleh ketukan gendang dangdut.
Sensibilia seperti ini menjelma emosi yang ironis dari perasaan cinta dan kerinduan akan cinta yang hilang dan ditemukan. Ini adalah perasaan khas manusia dalam sejarah urban; sebuah nostalgia akan masa lalu dan kehidupan pedesaan yang sudah hilang. Nostalgia akan desa atau kampung halaman juga dipicu oleh suara bernuansa gamelan dalam musik campursari Didi Kempot.