Maka campursari di tangan Didi Kempot menjadi bunyi yang bukan semata urusan asmara, namun juga untaian doa, kenangan tentang ikon-ikon penanda kota (terminal, stasiun, pelabuhan, taman dan lainnya), penghormatan dan pengorbanan, serta dinamika sosial (tentang kebiasaan menulis surat atau pengetahuan geologis tentang lanskap alam Merapi purba).
Dalam lirik-liriknya, Didi Kempot banyak berkisah tentang jejak sejarah peradaban sebuah bangsa bernama Indonesia. Tak ada panggung musik negeri ini yang tak menyanyikan lagu-lagunya.
Momentum yang Pas
Kehadirannya di panggung musik Indonesia memang terjadi dalam momentum yang pas. Didi Kempot muncul dengan lagunya di kala masyarakat mulai bosan dan merindukan nuansa ekspresi artistik yang jauh dari impian-impian modernisme yang gebyar, hedonis, dan jauh tak terjangkau ke impian-impian masa lalu yang memang kadang getir, menyakitkan, tapi realistis.
Didi Kempot mampu mengakomodasi citra lagu yang menggambarkan harapan dan cita-cita masyarakat dengan lebih realis dan tak muluk-muluk. Lewat campursari Didi Kempot, masyarakat seolah menemukan oase yang menyegarkan dalam mengisahkan dinamika kehidupan. Gambaran ini semakin lengkap dengan kematangan hidupnya sebagai bekas musisi jalanan.