Tan Malaka dieksekusi mati oleh pasukan dari Batalyon Sikatan, Divisi Brawijaya di Selopanggung, Kediri, Jawa Timur. Perintah itu datang dari Letda. Soekotjo, yang menurut sejarawan Harry Poeze, “Orang kanan sekali yang beropini bahwa Tan Malaka harus dihabisi.”
Pengujung kisah hidup Tan Malaka dimulai ketika dia dibebaskan dari penjara di Magelang, 16 September 1948. Sekeluarnya dari penjara, dia mencoba kembali mengumpulkan pendukungnya dan menggagas pendirian partai Murba pada 7 November 1948. Partai ini berasaskan “antifasisme, antiimperialisme dan antikapitalisme”.
Namun Tan enggan memimpin Partai Murba. “Dia tidak mau jadi ketua. Mungkin dia harap jadi Presiden RI dan selalu tidak senang dengan politik diplomasi,” kata sejarawan Harry A. Poeze dalam bukunya, Tan Malaka, Gerakan Kiri, dan Revolusi Indonesia Jilid 4. Buku ini mengisahkan babakan terakhir perjalanan hidup Tan Malaka, sejak September 1948 sampai Desember 1949.
Propaganda Tan Malaka yang anti politik diplomasi Sukarno-Hatta dianggap sebagai ancaman oleh pemerintah. Gerakannya mesti ditumpas. Tan bersama GPP (Gerakan Pembela Proklamasi) berpindah-pindah markas dan akhirnya melarikan diri ke arah selatan Jawa Timur. Dalam gerilya menyusuri lereng Gunung Wilis, di Selopanggung, Kediri, Tan Malaka ditangkap oleh Letnan Dua Sukoco dari Batalion Sikatan Divisi Brawijaya.